Segala puji bagi Allah, pujian yang
terbaik untuk-Nya. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan
sahabatnya.
Saat ini kami akan menjelaskan
beberapa hal yang berkenaan dengan mandi (al ghuslu). Insya Allah,
pembahasan ini akan dikaji secara lebih lengkap dalam tiga artikel. Pada
kesempatan kali ini kita akan mengkaji beberapa hal yang mewajibkan seseorang
untuk mandi (al ghuslu).
Yang
dimaksud dengan al ghuslu secara bahasa adalah mengalirkan air
pada sesuatu. Sedangkan yang dimaksud dengan al ghuslu secara
syari’at adalah menuangkan air ke seluruh badan dengan tata cara yang khusus.
Ibnu Malik mengatakan bahwa al ghuslu (dengan ghoin-nya
didhommah) bisa dimaksudkan untuk perbuatan mandi dan air yang digunakan untuk
mandi. [1] [1] Kasyaful
Qona’ ‘an Matnil Iqna’, 1/392, Mawqi’ Al Islam
Beberapa hal yang mewajibkan untuk
mandi (al ghuslu):
Pertama: Keluarnya mani dengan syahwat.
Sebagaimana dijelaskan oleh ulama
Syafi’iyah, mani bisa dibedakan dari madzi dan wadi[2] [2] Wadi adalah sesuatu yang keluar sesudah
kencing pada umumnya, berwarna putih, tebal mirip mani, namun berbeda
kekeruhannya dengan mani. Wadi tidak memiliki bau yang khas.
Sedangkan madzi adalah cairan berwarna
putih, tipis, lengket, keluar ketika bercumbu rayu atau ketika membayangkan
jima’ (bersetubuh) atau ketika berkeinginan untuk jima’. Madzi tidak
menyebabkan lemas dan terkadang keluar tanpa terasa yaitu keluar ketika
muqoddimah syahwat. Laki-laki dan perempuan sama-sama bisa memiliki madzi.
(Lihat Fatawa Al Lajnah Ad
Da-imah lil Buhuts ‘Ilmiyyah wal Ifta’, 5/383, pertanyaan kedua dari
fatwa no.4262, Mawqi’ Al Ifta’)
dengan melihat ciri-ciri mani
yaitu: [1] baunya khas seperti bau adonan roti ketika basah dan seperti bau
telur ketika kering, [2] birnya memancar, [3] keluarnya terasa nikmat dan
mengakibatkan futur (lemas). Jika salah satu syarat sudah
terpenuhi, maka cairan tersebut disebut mani. Wanita sama halnya dengan
laki-laki dalam hal ini. Namun untuk wanita tidak disyaratkan air mani tersebut
memancar sebagaimana disebutkan oleh An Nawawi dalam Syarh Muslim dan
diikuti oleh Ibnu Sholah.[3] [3] Lihat Kifayatul
Akhyar fii Halli Ghoyatil Ikhtishor, Taqiyuddin Abu Bakr Asy Syafi’i, hal.
64, Darul Kutub Al ‘Ilmiyyah, tahun 1422 H.
Dalill bahwa keluarnya mani
mewajibkan untuk mandi adalah firman Allah Ta’ala,
وَإِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا
فَاطَّهَّرُوا
“Dan jika kamu junub maka
mandilah.” (QS. Al Maidah: 6)
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا
تَقْرَبُوا الصَّلَاةَ وَأَنْتُمْ سُكَارَى حَتَّى تَعْلَمُوا مَا تَقُولُونَ
وَلَا جُنُبًا إِلَّا عَابِرِي سَبِيلٍ حَتَّى تَغْتَسِلُوا
“Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti
apa yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri mesjid) sedang kamu dalam keadaan
junub, terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi.” (QS. An Nisa’:
43)
Dalil lainnya dapat kita temukan
dalam hadits Abu Sa’id Al Khudri radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّمَا
الْمَاءُ مِنَ الْمَاءِ
“Sesungguhnya (mandi) dengan air
disebabkan karena keluarnya air (mani).” (HR. Muslim no. 343)
Menurut jumhur (mayoritas) ulama,
yang menyebabkan seseorang mandi wajib adalah karena keluarnya mani
dengan memancar dan terasa nikmat ketika mani itu keluar. Jadi, jika mani
tersebut keluar tanpa syahwat seperti ketika sakit atau kedinginan, maka tidak
ada kewajiban untuk mandi. Berbeda halnya dengan ulama Syafi’iyah yang
menganggap bahwa jika mani tersebut keluar memancar dengan terasa
nikmat atau pun tidak, maka tetap menyebabkan mandi wajib. Namun pendapat
yang lebih kuat adalah pendapat jumhur (mayoritas) ulama.[4] [4] Lihat Shahih
Fiqh Sunnah, Syaikh Abu Malik Kamal bin As Sayid Salim, 1/163, Al Maktabah
At Taufiqiyah. Juga lihat penjelasan dalam kitab Fiqh Al Mar’ah Al
Muslimah, Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin, hal. 49, Darul ‘Aqidah,
tahun 1428 H.
Lalu bagaimana dengan orang yang
mimpi basah?
Asy Syaukani rahimahullah mengatakan,
“Terdapat ijma’ (kesepakatan) ulama mengenai wajibnya mandi ketika ihtilam (mimpi),
sedangkan yang menyelisihi hal ini hanyalah An Nakho’i. Akan tetapi yang
menyebabkan mandi wajib di sini ialah jika orang yang bermimpi
mendapatkan sesuatu yang basah.”[5] [5] Ad
Daroril Mudhiyah Syarh Ad Duroril Bahiyah, Muhammad bin ‘Ali Asy Syaukani,
hal. 57, Darul ‘Aqidah, tahun 1425 H.
Dalil mengenai hal ini adalah hadits
dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha,
سُئِلَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله
عليه وسلم- عَنِ الرَّجُلِ يَجِدُ الْبَلَلَ وَلاَ يَذْكُرُ احْتِلاَمًا قَالَ «
يَغْتَسِلُ ». وَعَنِ الرَّجُلِ يَرَى أَنَّهُ قَدِ احْتَلَمَ وَلاَ يَجِدُ
الْبَلَلَ قَالَ « لاَ غُسْلَ عَلَيْهِ ». فَقَالَتْ أُمُّ سُلَيْمٍ الْمَرْأَةُ
تَرَى ذَلِكَ أَعَلَيْهَا غُسْلٌ قَالَ « نَعَمْ إِنَّمَا النِّسَاءُ شَقَائِقُ
الرِّجَالِ ».
“Rasulullah shallallahu alaihi wa
sallam pernah ditanya tentang seorang laki-laki yang mendapatkan dirinya basah
sementara dia tidak ingat telah mimpi, beliau menjawab, “Dia wajib mandi”. Dan
beliau juga ditanya tentang seorang laki-laki yang bermimpi tetapi tidak
mendapatkan dirinya basah, beliau menjawab: “Dia tidak wajib mandi”.” (HR.
Abu Daud no. 236, At Tirmidzi no. 113, Ahmad 6/256. Dalam hadits ini semua
perowinya shahih kecuali Abdullah Al Umari yang mendapat
kritikan[6].
[6] Lihat Ad
Daroril Mudhiyah, hal. 58.
Syaikh Al Albani mengatakan bahwa
hadits ini hasan)
Juga terdapat dalil dalam hadits
Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha, ia berkata,
جَاءَتْ
أُمُّ سُلَيْمٍ امْرَأَةُ أَبِى طَلْحَةَ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ – صلى الله عليه
وسلم – فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ ، إِنَّ اللَّهَ لاَ يَسْتَحْيِى مِنَ
الْحَقِّ ، هَلْ عَلَى الْمَرْأَةِ مِنْ غُسْلٍ إِذَا هِىَ احْتَلَمَتْ فَقَالَ
رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – « نَعَمْ إِذَا رَأَتِ الْمَاءَ »
“Ummu Sulaim (istri dari Abu
Tholhah) datang menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan berkata,
“Wahai Rasulullah, sesungguhnya Allah tidak malu terhadap kebenaran. Apakah
bagi wanita wajib mandi jika ia bermimpi?” Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
menjawab: “Ya, jika dia melihat air.” (HR. Bukhari no. 282 dan Muslim no.
313)
Asy Syaukani rahimahullah mengatakan,
“Hadits-hadits di atas adalah sanggahan bagi yang berpendapat bahwa mandi wajib
itu baru ada jika seseorang yang mimpi tersebut merasakan mani tersebut keluar
(dengan syahwat) dan yakin akan hal itu.”[7] [7] Ad
Daroril Mudhiyah, hal. 58.
Syaikh Muhammad bin Sholih Al
Utsaimin rahimahullah ketika menjelaskan hadits di atas
berkata, “Pada saat itu diwajibkan mandi ketika melihat air (mani), dan tidak
disyaratkan lebih dari itu. Hal ini menunjukkan bahwa mandi itu
wajib jika seseorang bangun lalu mendapati air (mani), baik ia merasakannya
ketika keluar atau ia tidak merasakannya sama sekali. Begitu pula ia tetap
wajib mandi baik ia merasakan mimpi atau tidak karena orang yang tidur boleh
jadi lupa (apa yang terjadi ketika ia tidur). Yang dimaksud dengan air di sini
adalah mani.”[8] [8] Fiqh
Al Mar’ah Al Muslimah, hal. 50.
Kedua: Bertemunya dua kemaluan walaupun tidak keluar
mani.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu
‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا
جَلَسَ بَيْنَ شُعَبِهَا الأَرْبَعِ ثُمَّ جَهَدَهَا ، فَقَدْ وَجَبَ الْغَسْلُ
“Jika seseorang duduk di antara
empat anggota badan istrinya (maksudnya: menyetubuhi istrinya , pen), lalu
bersungguh-sungguh kepadanya, maka wajib baginya mandi.” (HR. Bukhari no.
291 dan Muslim no. 348)
Di dalam riwayat Muslim terdapat
tambahan,
وَإِنْ لَمْ يُنْزِلْ
“Walaupun tidak keluar mani.”
Dari ‘Aisyah radhiyallahu
‘anha, ia berkata,
إِنَّ رَجُلاً سَأَلَ رَسُولَ اللَّهِ
-صلى الله عليه وسلم- عَنِ الرَّجُلِ يُجَامِعُ أَهْلَهُ ثُمَّ يُكْسِلُ هَلْ
عَلَيْهِمَا الْغُسْلُ وَعَائِشَةُ جَالِسَةٌ. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله
عليه وسلم- « إِنِّى لأَفْعَلُ ذَلِكَ أَنَا وَهَذِهِ ثُمَّ نَغْتَسِلُ ».
“Seorang laki-laki bertanya
kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang seorang laki-laki yang
menyetubuhi istrinya namun tidak sampai keluar air mani. Apakah keduanya wajib
mandi? Sedangkan Aisyah ketika itu sedang duduk di samping, maka Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Aku sendiri pernah bersetubuh dengan
wanita ini (yang dimaksud adalah Aisyah, pen) namun tidak keluar mani, kemudian
kami pun mandi.” (HR. Muslim no. 350)
Imam Asy Syafi’i rahimahullah menyebutkan
bahwa yang dimaksud dengan “junub” dalam bahasa Arab dimutlakkan secara hakikat
pada jima’ (hubungan badan) walaupun tidak keluar mani. Jika kita
katakan bahwa si suami junub karena berhubungan badan dengan istrinya, maka
walaupun itu tidak keluar mani dianggap sebagai junub. Demikian nukilan dari
Ibnu Hajar Al Asqolani dalam Fathul Bari.[9] [9] Lihat Fathul
Bari, Ibnu Hajar Al Asqolani 1/398, Darul Ma’rifah, Beirut, 1379.
Ketika menjelaskan hadits Abu
Hurairah di atas, An Nawawi rahimahullah mengatakan, “Makna
hadits tersebut adalah wajibnya mandi tidak hanya dibatasi dengan keluarnya
mani. Akan tetapi, -maaf- jika ujung kemaluan si pria telah berada dalam
kemaluan wanita, maka ketika itu keduanya sudah diwajibkan untuk mandi. Untuk
saat ini, hal ini tidak terdapat perselisihan pendapat. Yang terjadi
perselisihan pendapat ialah pada beberapa sahabat dan orang-orang setelahnya. Kemudian
setelah itu terjadi ijma’ (kesepakatan) ulama (bahwa meskipun tidak keluar mani
ketika hubungan badan tetap wajib mandi) sebagaimana yang pernah kami
sebutkan.”[10] [10] Al
Minhaj Syarh Shahih Muslim bin Al Hajjaj, Yahya bin Syarf An Nawawi,
4/40-41, Dar Ihya’ At Turots, cetakan kedua, 1392.
Ketiga: Ketika berhentinya darah haidh dan nifas.
Dalil mengenai hal ini adalah hadits
‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam berkata pada Fathimah binti Abi Hubaisy,
فَإِذَا أَقْبَلَتِ الْحَيْضَةُ
فَدَعِى الصَّلاَةَ وَإِذَا أَدْبَرَتْ فَاغْسِلِى عَنْكِ الدَّمَ وَصَلِّى
“Apabila kamu datang haidh
hendaklah kamu meninggalkan shalat. Apabila darah haidh berhenti, hendaklah
kamu mandi dan mendirikan shalat.” (HR. Bukhari no. 320 dan Muslim no.
333).
Untuk nifas dihukumi sama dengan
haidh berdasarkan ijma’ (kesepakatan) para ulama. Asy Syaukani rahimahullah mengatakan,
“Mengenai wajibnya mandi karena berhentinya darah haidh tidak ada perselisihan
di antara para ulama. Yang menunjukkan hal ini adalah dalil Al Qur’an dan
haditsmutawatir (melalui jalur yang amat banyak). Begitu pula
terdapat ijma’ (kesepakatan) ulama mengenai wajibnya mandi ketika berhenti dari
darah nifas.”[11] [11] Ad
Daroril Mudhiyah, hal. 57.
Keempat: Ketika orang kafir masuk Islam.
Mengenai wajibnya hal ini terdapat
dalam hadits dari Qois bin ‘Ashim radhiyallahu ‘anhu,
أَنَّهُ أَسْلَمَ فَأَمَرَهُ
النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يَغْتَسِلَ بِمَاءٍ وَسِدْرٍ
“Beliau masuk Islam, lantas Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkannya untuk mandi dengan air dan daun
sidr (daun bidara).” (HR. An Nasai no. 188, At Tirmidzi no. 605, Ahmad
5/61. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).
Perintah yang berlaku untuk Qois di
sini berlaku pula untuk yang lainnya. Dalam kaedah ushul, hukum asal perintah
adalah wajib.[12] [12] Faedah
dari Shahih Fiqh Sunnah, 1/167.
Ulama yang mewajibkan mandi
ketika seseorang masuk Islam adalah Imam Ahmad bin Hambal dan pengikutnya dari
ulama Hanabilah[13] [13] Lihat Ad
Daroril Mudhiyah, hal. 59.
Kelima: Karena kematian.
Yang dimaksudkan wajib mandi di sini
ditujukan pada orang yang hidup, maksudnya orang yang hidup wajib memandikan
orang yang mati. Jumhur (mayoritas) ulama menyatakan bahwa memandikan orang
mati di sini hukumnya fardhu kifayah, artinya jika sebagian orang
sudah melakukannya, maka yang lain gugur kewajibannya.[15] [15] Lihat Shahih
Fiqh Sunnah, 1/617.
Penjelasan lebih lengkap mengenai
memandikan mayit dijelaskan oleh para ulama secara panjang lebar dalamKitabul
Jana’iz, yang berkaitan dengan jenazah.
Dalill mengenai wajibnya memandikan
si mayit di antaranya adalah perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada
Ummu ‘Athiyah dan kepada para wanita yang melayat untuk memandikan anaknya,
اغْسِلْنَهَا ثَلاَثًا أَوْ خَمْسًا
أَوْ أَكْثَرَ مَنْ ذَلِكَ إِنْ رَأَيْتُنَّ ذَلِكَ بِمَاءٍ وَسِدْرٍ
“Mandikanlah dengan mengguyurkan
air yang dicampur dengan daun bidara tiga kali, lima kali atau lebih dari itu
jika kalian anggap perlu dan jadikanlah yang terakhirnya dengan kafur barus
(wewangian).” (HR. Bukhari no. 1253 dan Muslim no. 939).
Berdasarkan kaedah ushul, hukum asal
perintah adalah wajib. Sedangkan tentang masalah ini tidak ada dalil yang
memalingkannya ke hukum sunnah (dianjurkan). Kaum muslimin pun telah
mengamalkan hal ini dari zaman dulu sampai saat ini.
Yang wajib dimandikan di sini adalah
setiap muslim yang mati, baik laki-laki atau perempuan, anak kecil atau dewasa,
orang merdeka atau budak, kecuali jika orang yang mati tersebut adalah orang
yang mati di medan perang ketika berperang dengan orang kafir.[16] [16] Lihat Shahih
Fiqh Sunnah, 1/618. Catatan: Adapun orang yang mati selain di
medan pertempuran dan disebut syahid (seperti orang yang mati karena tenggelam
dan sakit perut), maka mereka dimandikan dan disholatkan sebagaimana orang yang
mati pada umumnya. Inilah yang menjadi pendapat mayoritas ulama. (Shahih
Fiqh Sunnah, 1/619)
Lalu bagaimana dengan bayi karena
keguguran, wajibkah dimandikan?
Jawabannya, dapat kita lihat dari
penjelasan Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin rahimahullah. Beliau
berkata, “Jika bayi karena keguguran tersebut sudah memiliki ruh, maka ia
dimandikan, dikafani dan disholati. Namun jika ia belum memiliki ruh, maka
tidak dilakukan demikian. Waktu ditiupkannya ruh adalah jika kandungannya telah
mencapai empat bulan, sebagaimana hal ini terdapat dalam hadits
Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu….”[17] [17] Fiqh
Al Mar’ah Al Muslimah, hal. 51.
Demikian pembahasan singkat ini.
Insya Allah selanjutnya kita akan melanjutkan pada pembahasan tata cara mandi
(al ghuslu). Semoga bermanfaat.
Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi
tatimmush sholihaat. Wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala aalihi wa
shohbihi wa sallam.
Selesai disusun di Pangukan-Sleman,
Kamis, 15 Jumadal Awwal 1431 H (29/04/2010)
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Tidak ada komentar:
Posting Komentar