Segala
puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita
Muhammad, keluarga dan sahabatnya serta orang-orang yang mengikuti mereka
dengan baik hingga akhir zaman.
Tulisan kali ini adalah
kelanjutan dari tulisan sebelumnya mengenai lima hal yang menyebabkan mandi
wajib. Saat ini kami akan memaparkan serial kedua dari empat serial secara
keseluruhan tentang tata cara mandi wajib (al
ghuslu). Semoga pembahasan kali ini bermanfaat.
Niat,
Syarat Sahnya Mandi
Para ulama mengatakan
bahwa di antara fungsi niat adalah untuk membedakan manakah yang menjadi
kebiasaan dan manakah ibadah. Dalam hal mandi tentu saja mesti dibedakan dengan
mandi biasa. Pembedanya adalah niat. Dalam hadits dari ‘Umar bin Al Khattab,
Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallambersabda,
إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ
“Sesungguhnya setiap amalan tergantung pada niatnya.” (HR.
Bukhari no. 1 dan Muslim no. 1907)
Rukun
Mandi
Hakikat mandi adalah
mengguyur seluruh badan dengan air, yaitu mengenai rambut dan kulit.
Inilah yang diterangkan
dalam banyak hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Di antaranya adalah
hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha yang menceritakan tata
cara mandi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
ثُمَّ يُفِيضُ الْمَاءَ عَلَى جَسَدِهِ كُلِّهِ
“Kemudian beliau mengguyur air pada seluruh badannya.” (HR.
An Nasa-i no. 247. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Ibnu Hajar Al Asqolani
mengatakan,
هَذَا التَّأْكِيد يَدُلُّ عَلَى أَنَّهُ عَمَّمَ جَمِيع جَسَدِهِ
بِالْغُسْلِ
“Penguatan makna dalam
hadits ini menunjukkan bahwa ketika mandi beliau mengguyur air ke seluruh
tubuh.”[1]
Dari Jubair bin Muth’im
berkata, “Kami saling memperbincangkan tentang mandi janabah di sisi Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu beliau bersabda,
أَمَّا أَنَا فَآخُذُ مِلْءَ كَفِّى ثَلاَثاً فَأَصُبُّ عَلَى
رَأْسِى ثُمَّ أُفِيضُهُ بَعْدُ عَلَى سَائِرِ جَسَدِى
“Saya mengambil dua telapak tangan, tiga kali lalu saya siramkan
pada kepalaku, kemudian saya tuangkan setelahnya pada semua tubuhku.” (HR.
Ahmad 4/81. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih sesuai syarat Bukhari Muslim)
Dalil yang menunjukkan
bahwa hanya mengguyur seluruh badan dengan air itu merupakan rukun (fardhu)
mandi dan bukan selainnya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Ummu Salamah. Ia
mengatakan,
قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّى امْرَأَةٌ أَشُدُّ ضَفْرَ رَأْسِى
فَأَنْقُضُهُ لِغُسْلِ الْجَنَابَةِ قَالَ « لاَ إِنَّمَا يَكْفِيكِ أَنْ تَحْثِى
عَلَى رَأْسِكِ ثَلاَثَ حَثَيَاتٍ ثُمَّ تُفِيضِينَ عَلَيْكِ الْمَاءَ
فَتَطْهُرِينَ ».
“Saya berkata, wahai Rasulullah, aku seorang wanita yang mengepang
rambut kepalaku, apakah aku harus membuka kepangku ketika mandi junub?”
Beliau bersabda, “Jangan (kamu buka).
Cukuplah kamu mengguyur air pada kepalamu tiga kali, kemudian guyurlah yang
lainnya dengan air, maka kamu telah suci.” (HR. Muslim no. 330)
Dengan seseorang memenuhi
rukun mandi ini, maka mandinya dianggap sah, asalkan disertai niat untuk mandi
wajib (al ghuslu). Jadi
seseorang yang mandi di pancuran atau shower dan air
mengenai seluruh tubuhnya, maka mandinya sudah dianggap sah.
Adapun berkumur-kumur (madhmadhoh), memasukkan air dalam hidung (istinsyaq) dan menggosok-gosok badan (ad dalk) adalah perkara yang disunnahkan menurut
mayoritas ulama.[2]
Tata
Cara Mandi yang Sempurna
Berikut kita akan melihat
tata cara mandi yang disunnahkan. Apabila hal ini dilakukan, maka akan membuat
mandi tadi lebih sempurna. Yang menjadi dalil dari bahasan ini adalah dua dalil
yaitu hadits dari ‘Aisyah dan hadits dari Maimunah.
Hadits pertama:
عَنْ عَائِشَةَ زَوْجِ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – أَنَّ
النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – كَانَ إِذَا اغْتَسَلَ مِنَ الْجَنَابَةِ
بَدَأَ فَغَسَلَ يَدَيْهِ ، ثُمَّ يَتَوَضَّأُ كَمَا يَتَوَضَّأُ لِلصَّلاَةِ ،
ثُمَّ يُدْخِلُ أَصَابِعَهُ فِى الْمَاءِ ، فَيُخَلِّلُ بِهَا أُصُولَ شَعَرِهِ
ثُمَّ يَصُبُّ عَلَى رَأْسِهِ ثَلاَثَ غُرَفٍ بِيَدَيْهِ ، ثُمَّ يُفِيضُ الْمَاءَ
عَلَى جِلْدِهِ كُلِّهِ
Dari ‘Aisyah, isteri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa jika Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam mandi
junub, beliau memulainya dengan mencuci kedua telapak tangannya. Kemudian
beliau berwudhu sebagaimana wudhu untuk shalat. Lalu beliau memasukkan
jari-jarinya ke dalam air, lalu menggosokkannya ke kulit kepalanya, kemudian
menyiramkan air ke atas kepalanya dengan cidukan kedua telapak tangannya
sebanyak tiga kali, kemudian beliau mengalirkan air ke seluruh kulitnya.” (HR.
Bukhari no. 248 dan Muslim no. 316)
Hadits kedua:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ قَالَتْ مَيْمُونَةُ وَضَعْتُ لِرَسُولِ
اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – مَاءً يَغْتَسِلُ بِهِ ، فَأَفْرَغَ عَلَى
يَدَيْهِ ، فَغَسَلَهُمَا مَرَّتَيْنِ مَرَّتَيْنِ أَوْ ثَلاَثًا ، ثُمَّ أَفْرَغَ
بِيَمِينِهِ عَلَى شِمَالِهِ ، فَغَسَلَ مَذَاكِيرَهُ ، ثُمَّ دَلَكَ يَدَهُ
بِالأَرْضِ ، ثُمَّ مَضْمَضَ وَاسْتَنْشَقَ ، ثُمَّ غَسَلَ وَجْهَهُ وَيَدَيْهِ
ثُمَّ غَسَلَ رَأْسَهُ ثَلاَثًا ، ثُمَّ أَفْرَغَ عَلَى جَسَدِهِ ، ثُمَّ تَنَحَّى
مِنْ مَقَامِهِ فَغَسَلَ قَدَمَيْهِ
Dari Ibnu ‘Abbas berkata
bahwa Maimunah mengatakan, “Aku pernah menyediakan air mandi untuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Lalu beliau menuangkan air pada kedua tangannya dan mencuci
keduanya dua kali-dua kali atau tiga kali. Lalu dengan tangan kanannya beliau
menuangkan air pada telapak tangan kirinya, kemudian beliau mencuci
kemaluannya. Setelah itu beliau menggosokkan tangannya ke tanah. Kemudian
beliau berkumur-kumur dan memasukkan air ke dalam hidung. Lalu beliau membasuh
muka dan kedua tangannya. Kemudian beliau membasuh kepalanya tiga kali dan
mengguyur seluruh badannya. Setelah itu beliau bergeser dari posisi semula lalu
mencuci kedua telapak kakinya (di tempat yang berbeda).” (HR. Bukhari no. 265
dan Muslim no. 317)
Dari dua hadits di atas,
kita dapat merinci tata cara mandi yang disunnahkan sebagai berikut.
Pertama:
Mencuci tangan terlebih dahulu sebanyak tiga kali sebelum tangan tersebut
dimasukkan dalam bejana atau sebelum mandi.
Ibnu Hajar Al Asqolani rahimahullah mengatakan, “Boleh jadi tujuan untuk mencuci tangan terlebih
dahulu di sini adalah untuk membersihkan tangan dari kotoran … Juga boleh jadi
tujuannya adalah karena mandi tersebut dilakukan setelah bangun tidur.”[3]
Kedua:
Membersihkan kemaluan dan kotoran yang ada dengan tangan kiri.
Ketiga:
Mencuci tangan setelah membersihkan kemaluan dengan menggosokkan ke tanah atau
dengan menggunakan sabun.
An Nawawi rahimahullah mengatakan, “Disunnahkan bagi orang yang beristinja’
(membersihkan kotoran) dengan air, ketika selesai, hendaklah ia mencuci
tangannya dengan debu atau semacam sabun, atau hendaklah ia menggosokkan
tangannya ke tanah atau tembok untuk menghilangkan kotoran yang ada.”[4]
Keempat:
Berwudhu dengan wudhu yang sempurna seperti ketika hendak shalat.
Asy Syaukani rahimahullah mengatakan, “Adapun mendahulukan mencuci anggota wudhu ketika
mandi itu tidaklah wajib. Cukup dengan seseorang mengguyur badan ke seluruh
badan tanpa didahului dengan berwudhu, maka itu sudah disebut mandi (al
ghuslu).”[5]
Untuk kaki ketika
berwudhu, kapankah dicuci?
Jika kita melihat dari
hadits Maimunah di atas, dicontohkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa
beliau membasuh anggota wudhunya dulu sampai membasuh kepala, lalu mengguyur
air ke seluruh tubuh, sedangkan kaki dicuci terakhir. Namun hadits ‘Aisyah
menerangkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallamberwudhu secara sempurna
(sampai mencuci kaki), setelah itu beliau mengguyur air ke seluruh tubuh.
Dari dua hadits tersebut,
para ulama akhirnya berselisih pendapat kapankah kaki itu dicuci. Yang tepat
tentang masalah ini, dua cara yang disebut dalam hadits ‘Aisyah dan Maimunah
bisa sama-sama digunakan. Yaitu kita bisa saja mandi dengan berwudhu secara
sempurna terlebih dahulu, setelah itu kita mengguyur air ke seluruh tubuh,
sebagaimana disebutkan dalam riwayat ‘Aisyah. Atau boleh jadi kita gunakan cara
mandi dengan mulai berkumur-kumur, memasukkan air dalam hidup, mencuci wajah,
mencuci kedua tangan, mencuci kepala, lalu mengguyur air ke seluruh tubuh,
kemudian kaki dicuci terakhir.
Syaikh Abu Malik hafizhohullah mengatakan,
“Tata cara mandi (apakah dengan cara yang disebut dalam hadits ‘Aisyah dan
Maimunah) itu sama-sama boleh digunakan, dalam masalah ini ada kelapangan.”[6]
Kelima:
Mengguyur air pada kepala sebanyak tiga kali hingga sampai ke pangkal rambut.
Keenam:
Memulai mencuci kepala bagian kanan, lalu kepala bagian kiri.
Ketujuh:
Menyela-nyela rambut.
Dalam hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha disebutkan,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – إِذَا اغْتَسَلَ مِنَ
الْجَنَابَةِ غَسَلَ يَدَيْهِ ، وَتَوَضَّأَ وُضُوءَهُ لِلصَّلاَةِ ثُمَّ
اغْتَسَلَ ، ثُمَّ يُخَلِّلُ بِيَدِهِ شَعَرَهُ ، حَتَّى إِذَا ظَنَّ أَنْ قَدْ
أَرْوَى بَشَرَتَهُ ، أَفَاضَ عَلَيْهِ الْمَاءَ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ ، ثُمَّ غَسَلَ
سَائِرَ جَسَدِهِ
“Jika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mandi junub, beliau
mencuci tangannya dan berwudhu sebagaimana wudhu untuk shalat. Kemudian beliau
mandi dengan menggosok-gosokkan tangannya ke rambut kepalanya hingga bila telah
yakin merata mengenai dasar kulit kepalanya, beliau mengguyurkan air ke atasnya
tiga kali. Lalu beliau membasuh badan lainnya.” (HR. Bukhari no. 272)
Juga ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha mengatakan,
كُنَّا إِذَا أَصَابَتْ إِحْدَانَا جَنَابَةٌ ، أَخَذَتْ
بِيَدَيْهَا ثَلاَثًا فَوْقَ رَأْسِهَا ، ثُمَّ تَأْخُذُ بِيَدِهَا عَلَى شِقِّهَا
الأَيْمَنِ ، وَبِيَدِهَا الأُخْرَى عَلَى شِقِّهَا الأَيْسَرِ
“Jika salah seorang dari kami mengalami junub, maka ia mengambil
air dengan kedua tangannya dan disiramkan ke atas kepala, lalu mengambil air
dengan tangannya dan disiramkan ke bagian tubuh sebelah kanan, lalu kembali
mengambil air dengan tangannya yang lain dan menyiramkannya ke bagian tubuh
sebelah kiri.” (HR. Bukhari no. 277)
Kedelapan:
Mengguyur air pada seluruh badan dimulai dari sisi yang kanan setelah itu yang
kiri.
Dalilnya adalah hadits
‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata,
كَانَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – يُعْجِبُهُ التَّيَمُّنُ
فِى تَنَعُّلِهِ وَتَرَجُّلِهِ وَطُهُورِهِ وَفِى شَأْنِهِ كُلِّهِ
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa mendahulukan yang kanan
ketika memakai sendal, ketika bersisir, ketika bersuci dan dalam setiap perkara
(yang baik-baik).” (HR. Bukhari no. 168 dan Muslim no. 268)
Mengguyur air ke seluruh
tubuh di sini cukup sekali saja sebagaimana zhohir (tekstual) hadits yang
membicarakan tentang mandi. Inilah salah satu pendapat dari madzhab Imam Ahmad
dan dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.[7]