Syekh Abdul Aziz Bin Abdullah bin Baz pernah ditanya terkait hukum berjabat tangan ketika selesai sholat...
Bagaimana hukum berjabat tangan selesai sholat, apakah ada perbedaan dalam masalah ini, antara sholat fardhu dengan sholat sunnah?
beliau menjawab :
pada dasarnya, berjabat tangan ketika bertemu, antara muslimin adalah hal yang dianjurkan dalam agama. dan adalah Rasulullah SAW berjabat tangan dengan para sahabat beliau dikala berjumpa dengan mereka.
dan adalah para sahabat jika bertemu, mereka saling berjabat tangan. Anas r.a. dan asy-Sya'bi rahimahullah berkata : '' adalah para sahabat Nabi SAW jika bertemu mereka saling berjabat tangan dan jika mereka tiba dari perjalanan, mereka saling berpelukan.
dan telah diriwayatkan dalam Ash-Shahihain bahwasanya Thalhah bin Ubaidillah, salah seorang dari sepuluh orang yang dijamin masuk surga, pernah berdiri di majelis Nabi SAW dimasjid beliau, ketika menyambut Ka'ab bin Malik r.a., dimana Allah menerima taubat beliau, lalu Thalhah menjabat tangan beliau -ka'ab- dan mengucapkan selamat kepada beliau (ka'ab) atas diterimanya taubatnya. hal ini adalah suatu hal yang sudah dikenal di kalangan kaum muslimin pada zaman Nabi dan setelahnya.
telah diriwayatkan dari beliau SAW, bahwasanya beliau bersabda :
'' tak ada dua orang muslim bertemu lalu keduanya saling berjabat tangan melainkan gugurlah kedua dosa-dosanya, seperti gugurnya daun-daun dari pepohonan''
dan disunnahkan berjabat tangan disaat bertemu dimasjid, atau didalam shaf shalat. dan jika keduanya belum berjabat tangan sebelum sholat, sebaiknya berjabat tangan setelahnya, untuk melaksanakan sunnah yang mulia ini. karena hal ini bisa menguatkan cinta kasih dan menghilangkan permusuhan.
akan tetapi, bila belum berjabat tangan sebelum sholat wajib, disyari'atkan baginya berjabat tangan sesudahnya, setelah dzikir yang disyari`atkan.
adapun yang dilakukan oleh sebagian orang untuk cepat-cepat berjabat tangan setelah shalat fardhu, sesudah salam kedua, maka saya melihat hal itu tidak ada dasarnya. bahkan yang lebih nampak bahwa hal itu adalah tercela, karena tidak ada dalilnya, sebab yang disyari'atkan bagi orang shalat pada kondisi seperti itu, adalah bersegera membaca dzikir-dzikir yang disyari'atkan oleh Nabi SAW selesai salam dari sholat fardhu.
sedangkan sholat sunnah maka disyari'atkan berjabat tangan setelah salam, jika keduanya belum berjabat tangan sebelum menunaikan shalat. dan jika keduanya telah berjabat tangan sebelumnya, maka cukuplah (tidak diulangilagi)
_____________________________________________
*1 Lihat kitab Tuhfatul Ikhwan bi ajwibatin Muhammad Tata'allaqu bi Arkanil hal 119
Jumat, 24 Januari 2014
Jumat, 03 Januari 2014
Banyak Sedekah Hanya Untuk Memperlancar Rizki
Alhamdullillahilladzi
hamdan katsiron thoyyiban mubaarokan fiih kamaa yuhibbu Robbunaa wa yardho.
Allahumma sholli ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala aalihi wa shohbihi wa sallam.
Itulah yang sering kita
lihat pada umat Islam saat ini. Mereka memang gemar melakukan puasa sunnah
(yaitu puasa Senin-Kamis dan lainnya), namun semata-mata hanya untuk
menyehatkan badan sebagaimana saran dari beberapa kalangan. Ada juga yang gemar
sekali bersedekah, namun dengan tujuan untuk memperlancar rizki dan karir.
Begitu pula ada yang rajin bangun di tengah malam untuk bertahajud, namun
tujuannya hanyalah ingin menguatkan badan. Semua yang dilakukan memang suatu
amalan yang baik. Tetapi niat di dalam hati senyatanya tidak ikhlash karena
Allah, namun hanya ingin mendapatkan tujuan-tujuan duniawi semata. Kalau memang
demikian, mereka bisa termasuk orang-orang yang tercela sebagaimana disebutkan
dalam ayat berikut.
Dengan Amalan Sholeh Hanya Mengharap
Keuntungan Dunia, Sungguh Akan Sangat Merugi
Allah Ta’ala berfirman,
“Barangsiapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya,
niscaya Kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan
sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang
tidak memperoleh di akhirat, kecuali neraka dan lenyaplah di akhirat itu apa
yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka
kerjakan.” (QS. Hud [11] : 15-16)
Yang dimaksud dengan “Barangsiapa yang menghendaki kehidupan dunia” yaitu
barangsiapa yang menginginkan kenikmatan dunia dengan melakukan amalan akhirat.
Yang dimaksud “perhiasan dunia” adalah harta dan anak.
Mereka yang beramal
seperti ini: “niscaya Kami berikan
kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di
dunia itu tidak akan dirugikan”. Maksudnya adalah mereka
akan diberikan dunia yang mereka inginkan. Ini semua diberikan bukan karena
mereka telah berbuat baik, namun semata-mata akan membuat terlena dan
terjerumus dalam kebinasaan karena rusaknya amalan mereka. Dan juga mereka
tidak akan pernah yubkhosuun, yaitu dunia yang diberikan kepada mereka
tidak akan dikurangi. Ini berarti mereka akan diberikan dunia yang mereka cari
seutuhnya (sempurna).
Dunia, mungkin saja
mereka peroleh. Dengan banyak melakukan amalan sholeh, boleh jadi seseorang
akan bertambah sehat, rizki semakin lancar dan karir terus meningkat. Dan
itu senyatanya yang mereka peroleh dan Allah pun tidak akan mengurangi hal
tersebut sesuai yang Dia tetapkan. Namun apa yang mereka peroleh di akhirat?
Lihatlah firman Allah
selanjutnya (yang artinya), “Itulah
orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat, kecuali neraka”.
Inilah akibat orang yang hanya beribadah untuk mendapat tujuan dunia saja.
Mereka memang di dunia akan mendapatkan apa yang mereka inginkan. Adapun di
akhirat, mereka tidak akan memperoleh pahala karena mereka dalam beramal tidak
menginginkan akhirat. Ingatlah, balasan akhirat hanya akan diperoleh oleh orang
yang mengharapkannya. Allah Ta’ala berfirman,
“Dan barangsiapa yang menghendaki kehidupan akhirat dan berusaha
ke arah itu dengan sungguh-sungguh sedang ia adalah mu’min, maka mereka itu
adalah orang-orang yang usahanya dibalasi dengan baik.” (QS.
Al Israa’: 19)
Orang-orang seperti ini
juga dikatakan: “lenyaplah di akhirat itu
apa yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka
kerjakan”. Ini semua dikarenakan mereka dahulu di dunia beramal tidak
ikhlas untuk mengharapkan wajah Allah sehingga ketika di akhirat, sia-sialah
amalan mereka. (Lihat penjelasan ayat ini di I’aanatul Mustafid, 2/92-93)
Sungguh betapa banyak
orang yang melaksanakan shalat malam, puasa sunnah dan banyak sedekah, namun
itu semua dilakukan hanya bertujuan untuk menggapai kekayaan dunia,
memperlancar rizki, umur panjang, dan lain sebagainya.
Ibnu ‘Abbas –radhiyallahu
‘anhu- menafsirkan surat Hud ayat 15-16. Beliau –radhiyallahu ‘anhu-
mengatakan, “Sesungguhnya orang yang riya’, mereka hanya ingin memperoleh
balasan kebaikan yang telah mereka lakukan, namun mereka minta segera dibalas
di dunia.”
Ibnu ‘Abbas juga
mengatakan, “Barangsiapa yang melakukan amalan puasa, shalat atau shalat malam
namun hanya ingin mengharapkan dunia, maka balasan dari Allah: “Allah akan
memberikan baginya dunia yang dia cari-cari. Namun amalannya akan sia-sia
(lenyap) di akhirat nanti karena mereka hanya ingin mencari dunia. Di akhirat,
mereka juga akan termasuk orang-orang yang merugi”.” Perkataan yang sama dengan
Ibnu ‘Abbas ini juga dikatakan oleh Mujahid, Adh Dhohak dan selainnya.
Qotadah mengatakan,
“Barangsiapa yang dunia adalah tujuannya, dunia yang selalu dia cari-cari
dengan amalan sholehnya, maka Allah akan memberikan kebaikan kepadanya di dunia.
Namun ketika di akhirat, dia tidak akan memperoleh kebaikan apa-apa sebagai
balasan untuknya. Adapun seorang mukmin yang ikhlash dalam beribadah (yang
hanya ingin mengharapkan wajah Allah), dia akan mendapatkan balasan di dunia
juga dia akan mendapatkan balasan di akhirat.” (Lihat Tafsir Al Qur’an Al
‘Azhim, tafsir surat Hud ayat 15-16)
Hanya Beramal Untuk Menggapai Dunia,
Tidak Akan Dapat Satu Bagianpun Di Akhirat
Kenapa seseorang
beribadah dan beramal hanya ingin menggapai dunia? Jika seseorang beramal untuk
mencari dunia, maka dia memang akan diberi. Jika shalat tahajud, puasa
senin-kamis yang dia lakukan hanya ingin meraih dunia, maka dunia memang akan
dia peroleh dan tidak akan dikurangi. Namun apa akibatnya di akhirat? Sungguh
di akhirat dia akan sangat merugi. Dia tidak akan memperoleh balasan di akhirat
disebabkan amalannya yang hanya ingin mencari-cari dunia.
Namun bagaimana dengan
orang yang beramal dengan ikhlash, hanya ingin mengharap wajah Allah? Di
akhirat dia akan memperoleh pahala yang berlipat ganda.
Allah Ta’ala berfirman,
“Barang
siapa yang menghendaki keuntungan di akhirat akan Kami tambah keuntungan itu
baginya dan barang siapa yang menghendaki keuntungan di dunia Kami berikan
kepadanya sebagian dari keuntungan dunia dan tidak ada baginya suatu
bahagianpun di akhirat.” (QS. Asy Syuraa: 20)
Ibnu Katsir
–rahimahullah- menafsirkan ayat di atas, “Barangsiapa yang mencari keuntungan
di akhirat, maka Kami akan menambahkan keuntungan itu baginya, yaitu Kami akan
kuatkan, beri nikmat padanya karena tujuan akhirat yang dia harapkan. Kami pun
akan menambahkan nikmat padanya dengan Kami balas setiap kebaikan dengan
sepuluh kebaikan hingga 700 kali lipat hingga kelipatan yang begitu banyak
sesuai dengan kehendak Allah. … Namun jika yang ingin dicapai adalah dunia dan
dia tidak punya keinginan menggapai akhirat sama sekali, maka balasan akhirat
tidak akan Allah beri dan dunia pun akan diberi sesuai dengan yang Allah
kehendaki. Dan jika Allah kehendaki, dunia dan akhirat sekaligus tidak akan dia
peroleh. Orang seperti ini hanya merasa senang dengan keinginannya saja, namun
barangkali akhirat dan dunia akan lenyap seluruhnya dari dirinya.”
Ats Tsauri berkata, dari
Mughiroh, dari Abul ‘Aliyah, dari Ubay bin Ka’ab -radhiyallahu ‘anhu-, beliau
mengatakan,
“Umat ini diberi kabar gembira dengan kemuliaan, kedudukan, agama
dan kekuatan di muka bumi. Barangsiapa dari umat ini yang melakukan amalan
akhirat untuk meraih dunia, maka di akhirat dia tidak mendapatkan satu bagian
pun.” (HR. Ahmad, Ibnu Hibban dalam kitab Shahihnya, Al Hakim dan
Al Baiaqi. Al Hakim mengatakan sanadnya shahih. Syaikh Al Albani menshahihkan hadits ini dalam Shahih At Targhib wa At Tarhib)
Terdapat pula riwayat
dalam Al Baihaqi, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
بشر هذه الأمة بالتيسير والسناء والرفعة بالدين والتمكين في البلاد
والنصر فمن عمل منهم بعمل الآخرة للدنيا فليس له في الآخرة من نصيب
“Umat ini diberi kabar gembira dengan kemudahan, kedudukan dan
kemulian dengan agama dan kekuatan di muka bumi, juga akan diberi pertolongan.
Barangsiapa yang melakukan amalan akhirat untuk mencari dunia, maka dia tidak
akan memperoleh satu bagian pun di akhirat. ”
Tanda Seseorang Beramal Untuk Tujuan
Dunia
Al Bukhari membawakan
hadits dalam Bab “Siapa yang menjaga diri
dari fitnah harta”.
Dari Abu Hurairah
–radhiyallahu ‘anhu-, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Celakalah hamba dinar, dirham, qothifah dan khomishoh. Jika
diberi, dia pun ridho. Namun jika tidak diberi, dia tidak ridho, dia akan
celaka dan akan kembali binasa.” (HR. Bukhari). Qothifah adalah
sejenis pakaian yang memiliki beludru. Sedangkan khomishoh adalah
pakaian yang berwarna hitam dan memiliki bintik-bintik merah. (I’aanatul Mustafid, 2/93)
Kenapa dinamakan hamba
dinar, dirham dan pakaian yang mewah? Karena mereka yang disebutkan dalam
hadits tersebut beramal untuk menggapai harta-harta tadi, bukan untuk mengharap
wajah Allah. Demikianlah sehingga mereka disebut hamba dinar, dirham dan
seterusnya. Adapun orang yang beramal karena ingin mengharap wajah Allah
semata, mereka itulah yang disebut hamba Allah (sejati).
Di antara tanda bahwa
mereka beramal untuk menggapai harta-harta tadi atau ingin menggapai dunia
disebutkan dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam selanjutnya: “Jika diberi, dia pun ridho. Namun jika tidak diberi, dia pun
tidak ridho (murka), dia akan celaka dan kembali binasa”. Hal
ini juga yang dikatakan kepada orang-orang munafik sebagaimana dalam firman
Allah,
“Dan di antara mereka ada orang yang mencelamu tentang
(distribusi) zakat; jika
mereka diberi sebahagian dari padanya, mereka bersenang hati, dan jika mereka tidak
diberi sebahagian dari padanya, dengan serta merta mereka menjadi marah.” (QS.
At Taubah: 58)
Itulah tanda seseorang
dalam beramal hanya ingin menggapai tujuan dunia. Jika dia diberi kenikmatan
dunia, dia ridho. Namun, jika kenikmatan dunia tersebut tidak kunjung datang,
dia akan murka dan marah. Dalam hatinya seraya berujar, “Sudah sebulan saya merutinkan shalat malam, namun rizki dan usaha
belum juga lancar.” Inilah tanda orang yang selalu berharap dunia dengan amalan
sholehnya.
Adapun seorang mukmin,
jika diberi nikmat, dia akan bersyukur. Sebaliknya, jika tidak diberi, dia pun
akan selalu sabar. Karena orang mukmin, dia akan beramal bukan untuk
mencapai tujuan dunia. Sebagian mereka bahkan tidak menginginkan mendapatkan
dunia sama sekali. Diceritakan bahwa sebagian sahabat tidak ridho jika
mendapatkan dunia sedikit pun. Mereka pun tidak mencari-cari dunia karena yang
selalu mereka harapkan adalah negeri akhirat. Semua ini mereka lakukan untuk
senantiasa komitmen dalam amalan mereka, agar selalu timbul rasa harap pada
kehidupan akhirat. Mereka sama sekali tidak menyukai untuk disegerakan balasan
terhadap kebaikan yang mereka lakukan di dunia.
Akan tetapi, barangsiapa
diberi dunia tanpa ada rasa keinginan sebelumnya dan tanpa ada rasa tamak
terhadap dunia, maka dia boleh mengambilnya. Sebagaimana hal ini terdapat dalam
hadits dari ‘Umar bin Khottob,
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan suatu
pemberian padaku.” Umar lantas mengatakan, “Berikan
saja pemberian tersebut pada orang yang lebih butuh (lebih miskin) dariku.
Sampai beberapa kali, beliau tetap memberikan harta tersebut padaku.” Umar
pun tetap mengatakan, “Berikan saja pada orang
yang lebih butuh (lebih miskin) dariku.” Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam pun bersabda, “Ambillah
harta tersebut dan harta yang semisal dengan ini di mana engkau tidak merasa
mulia dengannya dan sebelumnya engkau pun tidak meminta-mintanya. Ambillah
harta tersebut. Selain harta semacam itu (yang di mana engkau punya keinginan
sebelumnya padanya), maka biarkanlah dan janganlah hatimu bergantung padanya.”
(HR. Bukhari dan Muslim).
Sekali lagi, begitulah
orang beriman. Jika dia diberi nikmat atau pun tidak, amalan sholehnya tidak
akan pernah berkurang. Karena orang mukmin sangat mencintai Allah dan
Rasul-Nya. Adapun orang yang selalu mengharap dunia dengan amalan sholehnya,
dia akan bersikap berbeda. Jika dia diberi nikmat, baru dia ridho. Namun, jika
dia tidak diberi, dia akan murka dan marah. Dia ridho karena mendapat
kenikmatan dunia. Sebaliknya, dia murka karena kenikmatan dunia yang tidak
kunjung menghampirinya padahal dia sudah gemar melakukan amalan sholeh. Itulah
sebabnya orang-orang seperti ini disebut hamba dunia, hamba dinar, hamba dirham
dan hamba pakaian.
Beragamnya Niat dan Amalan Untuk
Menggapai Dunia
Niat seseorang ketika
beramal ada beberapa macam:
[Pertama] Jika niatnya adalah murni untuk mendapatkan dunia ketika dia
beramal dan sama sekali tidak punya keinginan mengharap wajah Allah dan
kehidupan akhirat, maka orang semacam ini di akhirat tidak akan mendapatkan satu
bagian nikmat pun. Perlu diketahui pula bahwa amalan semacam ini tidaklah
muncul dari seorang mukmin. Orang mukmin walaupun lemah imannya, dia pasti
selalu mengharapkan wajah Allah dan negeri akhirat.
[Kedua] Jika
niat seseorang adalah untuk mengharap wajah Allah dan untuk mendapatkan dunia
sekaligus, entah niatnya untuk kedua-duanya sama atau mendekati, maka semacam
ini akan mengurangi tauhid dan keikhlasannya. Amalannya dinilai memiliki
kekurangan karena keikhlasannya tidak sempurna.
[Ketiga] Adapun jika
seseorang telah beramal dengan ikhlash, hanya ingin mengharap wajah Allah
semata, akan tetapi di balik itu dia mendapatkan upah atau hasil yang dia ambil
untuk membantunya dalam beramal (semacam mujahid yang berjihad lalu mendapatkan
harta rampasan perang, para pengajar dan pekerja yang menyokong agama yang
mendapatkan upah dari negara setiap bulannya), maka tidak mengapa mengambil
upah tersebut. Hal ini juga tidak mengurangi keimanan dan ketauhidannya, karena
semula dia tidak beramal untuk mendapatkan dunia. Sejak awal dia sudah berniat
untuk beramal sholeh dan menyokong agama ini, sedangkan upah yang dia dapatkan
adalah di balik itu semua yang nantinya akan menolong dia dalam beramal dan
beragama. (Lihat Al Qoulus Sadiid, 132-133)
Adapun amalan yang seseorang
lakukan untuk mendapatkan balasan dunia ada dua macam:
[Pertama] Amalan
yang tidak disebutkan di dalamnya balasan dunia. Namun seseorang melakukan
amalan tersebut untuk mengharapkan balasan dunia, maka semacam ini tidak
diperbolehkan bahkan termasuk kesyirikan.
Misalnya: Seseorang
melaksanakan shalat Tahajud. Dia berniat dalam hatinya bahwa pasti dengan
melakukan shalat malam ini, anaknya yang akan lahir nanti adalah laki-laki. Ini
tidak dibolehkan karena tidak ada satu dalil pun yang menyebutkan bahwa dengan
melakukan shalat Tahajud akan mendapatkan anak laki-laki.
[Kedua] Amalan
yang disebutkan di dalamnya balasan dunia. Contohnya adalah silaturrahim dan
berbakti kepada kedua orang tua. Semisal silaturrahim, Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda,
“Barangsiapa senang untuk dilapangkan rizki dan dipanjangkan
umurnya, maka jalinlah tali silaturrahim (hubungan antar kerabat).” (HR.
Bukhari dan Muslim)
Jika seseorang melakukan
amalan semacam ini, namun hanya ingin mengharapkan balasan dunia saja dan tidak
mengharapkan balasan akhirat, maka orang yang melakukannya telah terjatuh dalam
kesyirikan. Namun, jika dia melakukannya tetap mengharapkan balasan akhirat dan
dunia sekaligus, juga dia melakukannya dengan ikhlash, maka ini tidak mengapa
dan balasan dunia adalah sebagai tambahan nikmat untuknya karena syari’at telah
menunjukkan adanya balasan dunia dalam amalan ini.
Perbedaan dan Kesamaan Beramal untuk
Meraih Dunia dengan Riya’
Syaikh Muhammad At Tamimi
–rahimahullah- membawakan pembahasan ini dalam Kitab Tauhid pada Bab “Termasuk kesyirikan, seseorang beribadah untuk mencari dunia”.
Beliau –rahimahullah- membawakannya setelah membahas riya’.
Kenapa demikian?
Riya’ dan beribadah untuk
mencari dunia, keduanya sama-sama adalah amalan hati dan terlihat begitu samar
karena tidak nampak di hadapan orang banyak. Namun, Keduanya termasuk amalan
kepada selain Allah Ta’ala. Ini berarti keduanya termasuk kesyirikan yaitu
syirik khofi (syirik yang samar). Keduanya memiliki peredaan. Riya’
adalah beramal agar dilihat oleh orang lain dan ingin tenar dengan amalannya.
Sedangkan beramal untuk tujuan dunia adalah banyak melakukan amalan seperti
shalat, puasa, sedekah dan amalan sholeh lainnya dengan tujuan untuk
mendapatkan balasan segera di dunia semacam mendapat rizki yang lancar dan
lainnya.
Tetapi perlu diketahui,
para ulama mengatakan bahwa amalan seseorang untuk mencari dunia lebih nampak
hasilnya daripada riya’. Alasannya, kalau seseorang melakukan amalan dengan
riya’, maka jelas dia tidak mendapatkan apa-apa. Namun, untuk amalan yang
kedua, dia akan peroleh kemanfaatan di dunia. Akan tetapi, keduanya tetap saja
termasuk amalan yang membuat seseorang merugi di hadapan Allah Ta’ala. Keduanya
sama-sama bernilai syirik dalam niat maupun tujuan. Jadi kedua amalan ini
memiliki kesamaan dari satu sisi dan memiliki perbedaan dari sisi yang lain.
Kenapa Engkau Tidak Ikhlash Saja dalam
Beramal?
Sebenarnya jika seseorang
memurnikan amalannya hanya untuk mengharap wajah Allah dan ikhlash kepada-Nya
niscaya dunia pun akan menghampirinya tanpa mesti dia cari-cari. Namun, jika
seseorang mencari-cari dunia dan dunia yang selalu menjadi tujuannya dalam
beramal, memang benar dia akan mendapatkan dunia tetapi sekadar yang Allah
takdirkan saja. Ingatlah ini … !!
Semoga sabda Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam bisa menjadi renungan bagi kita semua,
“Barangsiapa
yang niatnya adalah untuk menggapai akhirat, maka Allah akan memberikan
kecukupan dalam hatinya, Dia akan menyatukan keinginannya yang tercerai berai,
dunia pun akan dia peroleh dan tunduk hina padanya. Barangsiapa yang niatnya
adalah untuk menggapai dunia, maka Allah akan menjadikan dia tidak pernah
merasa cukup, akan mencerai beraikan keinginannya, dunia pun tidak dia peroleh
kecuali yang telah ditetapkan baginya.” (HR. Tirmidzi no. 2465.
Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih. Lihat penjelasan hadits
ini di Tuhfatul Ahwadzi, 7/139)
Marilah –saudaraku-, kita
ikhlashkan selalu niat kita ketika kita beramal. Murnikanlah semua amalan hanya
untuk menggapai ridho Allah. Janganlah niatkan setiap amalanmu hanya untuk
meraih kenikmatan dunia semata. Ikhlaskanlah amalan tersebut pada Allah,
niscaya dunia juga akan engkau raih. Yakinlah hal ini …!!
Semoga Allah selalu
memperbaiki aqidah dan setiap amalan kaum muslimin. Semoga Allah memberi taufik
dan hidayah kepada mereka ke jalan yang lurus.
Alhamdulillahilladzi
bi ni’matihi tatimmush sholihaat. Wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa
‘ala wa alihi wa shohbihi wa sallam.
Rujukan:
1.
Al Qoulus Sadiid Syarh
Kitab At Tauhid, Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di, Wizarotusy syu’un Al
Islamiyyah wal Awqof wad Da’wah wal Irsyad-Al Mamlakah Al ‘Arobiyah As
Su’udiyah.
2.
I’aanatul Mustafid bi
Syarhi Kitabit Tauhid, Sholeh bin Fauzan bin ‘Abdillah Al Fauzan.
3.
At Tamhid li Syarhi
Kitabit Tauhid, Sholeh
bin ‘Abdul Aziz Alu Syaikh, Daar At Tauhid.
4.
Tafsir Al Qur’an Al
‘Azhim, Abul Fida’ Isma’il bin ‘Umar bin Katsir Al Qurosyi Ad Dimasyqi,
Tahqiq: Saami bin Muhammad Salamah, Dar Thobi’ah Lin Nasyr wat Tauzi’.
5.
Tuhfatul Ahwadzi bi
Syarhi Jaami’it Tirmidzi, Muhammad ‘Abdurrahman
bin ‘Abdirrahim Al Mubarakfuriy Abul ‘Alaa, Darul Kutub Al ‘Ilmiyyah, Beirut.
****
Penulis: Muhammad Abduh
Tuasikal
Artikel
http://rumaysho.com
Ketika Sahabat Kita Membeberkan Rahasia Kita !!!
Setiap kita memiliki rahasia-rahasia dalam kehidupan ini yang
kita berusaha untuk menyembunyikannya dari orang lain…, baik rahasia-rahasia
yang positif yang menyenangkan hati kita, maupun rahasia-rahasia negatif yang
berkaitan dengan aib-aib kita. Tidak ada orang lain yang mengetahui
rahasia-rahasia tersebut, hanya Allahlah Yang Maha Mengetahui Yang ghaib dan
yang mengetahuinya.
Akan tetapi terkadang hati seseorang terasa sempit dengan rahasianya yang ia simpan…ia ingin sekali menyampaikan rahasia tersebut kepada orang lain yang amanah yang bisa menjaga rahasianya…, lantas kepada siapakah ia meletakkan rahasianya tersebut ??, terlebih lagi jika rahasia tersebut berkaitan dengan aibnya sendiri !!
Bayangkan jika sahabat kita telah menyimpan rahasia kita dengan penuh amanah selama sepuluh tahun…lantas tatkala terjadi pertikaian antara kita dan dia yang membuatnya marah…akhirnya sahabat kitapun membeberkan rahasia aib kita tersebut !!!
Akan tetapi terkadang hati seseorang terasa sempit dengan rahasianya yang ia simpan…ia ingin sekali menyampaikan rahasia tersebut kepada orang lain yang amanah yang bisa menjaga rahasianya…, lantas kepada siapakah ia meletakkan rahasianya tersebut ??, terlebih lagi jika rahasia tersebut berkaitan dengan aibnya sendiri !!
Bayangkan jika sahabat kita telah menyimpan rahasia kita dengan penuh amanah selama sepuluh tahun…lantas tatkala terjadi pertikaian antara kita dan dia yang membuatnya marah…akhirnya sahabat kitapun membeberkan rahasia aib kita tersebut !!!
Membeberkan rahasia adalah pengkhianatan
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
“Jika seseorang mengabarkan kepada orang lain suatu kabar, kemudian ia berpaling dari orang yang dikabari tersebut maka kabar itu adalah amanah (atas orang yang dikabari) (HR At-Tirmidzi (1959) dan Abu Dawud (4868). Hadits ini dihasankan oleh Syaikh al-Albani dalam as-Shahiihah (1090).)
Makna berpaling yaitu si penyampai kabar tatkala hendak menyampaikan kabarnya menengok ke kanan dan ke kiri karena kahwatir ada yang mendengar. Sikapnya memandang ke kanan dan ke kiri menunjukkan bahwa dia takut kalau ada orang lain yang ikut mendengar pembicaraannya, dan dia mengkhususkan kabar ini hanya kepada yang akan disampaikan kabar tersebut. Seakan-akan dengan sikapnya itu ia berkata kepada orang yang diajak bicara, "Rahasiakanlah kabar ini!" (Lihat Tuhfatul Ahwadzi (VI/81) dan ‘Aunul Ma’bud (XIII/178)
Hadits ini menjelaskan bahwa seseorang hendaknya menjaga rahasia saudaranya jika dia faham bahwasanya saudaranya tidak ingin ada orang lain yang mengetahuinya, bahkan meskipun ia tidak meminta untuk merahasiakannya. Lantas bagaimana lagi jika ia meminta untuk merahasiakannya ??!!. Hadits ini juga tegas menjelaskan bahwasanya menjaga rahasia adalah amanah dan membongkar rahasia adalah bentuk pengkhianatan.
Akan tetapi…, sungguh menjaga rahasia orang lain lebih sulit daripada menjaga harta orang lain.
Al-Munaawi rahimahullah berkata :
"Tidak setiap orang yang amanah menjaga harta juga amanah menjaga rahasia. Menjaga diri dari harta lebih mudah dari pada menjaga diri untuk tidak menyebarkan rahasia" (Faidhul Qodiir 1/493, syarh hadits no 985)
Sungguh benar perkataan Al-Munaawi ini, lebih mudah bagi kita tatkala diberi amanah untuk menjaga harta orang lain dari pada tatkala diberi amanah untuk tidak menceritakan rahasia orang lain.
Ar-Rooghib berkata :
"Menyebarkan rahasia muncul dari sedikitnya kesabaran dan sempitnya dada, dan ini merupakan sifat para lelaki yang lemah, para wanita, dan anak-anak" (lihat Faidhul Qodiir 1/493)
Sebaliknya seseroang berkata :
"Menyembunyikan rahasia menunjukkan akan para lelaki yang mulia seperti permata, sebagaimana tidak ada kebaikan pada sebuah bejana yang tidak bisa menampung isinya maka tidak ada kebaikan pula pada seseorang yang tidak bisa menyembunyikan rahasia"
Menjaga rahasia sendiri saja sulit apalagi rahasia orang lain?
Jangankan untuk menjaga rahasia orang lain…, bahkan rahasia sendiri saja kita tidak kuasa untuk menyimpannya dan memendamnya dalam hati kita.
Seseorang penyair berkata:
"Jika seseorang membeberkan rahasianya sendiri dengan lisannya (kepada orang lain)…
lantas ia mencela orang lain tersebut (karena membeberkan rahasianya) maka orang ini adalah orang bodoh…
Jika hatinya sempit untuk bisa menahan rahasia pribadinya…
maka dada orang lain yang ia simpan rahasianya tentunya lebih sempit lagi…"
Jika kita tidak mampu untuk menyimpan rahasia kita lantas kita sampaikan kepada orang lain maka jangan menyesal jika akhirnya rahasia kita akan menjadi rahasia umum, sebagaimana perkataan seorang penyair ;
"Seluruh ilmu yang tidak tercatat di kertas akan lenyap….
Dan seluruh rahasia yang telah melewati dua bibir maka akan tersebar"
Betapa sering kita berkata kepada seseorang, "Tolong jaga rahasia ini, jangan sampai engkau menceritakannya kepada orang lain". Namun ternyata orang inipun menyebarkannya kepada orang lain dengan perkataan yang sama, "Tolong jaga rahasia ini, jangan sampai engkau menceritakannya kepada orang lain", dan seterusnya… hingga jadilah rahasia kita menjadi rahasia umum.
Yang lebih menyedihkan…terkadang seseorang menyampaikan suatu rahasia kepada sahabat dekatnya, dan sebelum ia menyampaikan rahasia kepadanya ia mewanti-wantinya untuk tidak bercerita kepada orang lain…lantas sahabatnya itupun berkata, "Demi Allah meskipun ditawarkan matahari di tangan kananku dan rembulan di tangan kiriku, aku tetap tidak akan menceritakannya kepada orang lain". Ternyata beberapa minggu kemudian…atau sebulan kemudian…atau dua bulan kemudian…atau setahun kemudian…rahasia tersebut telah tersebar…rahasia pribadi telah berubah menjadi rahasia umum… bahkan akhirnya rahasia tersebut sampai langsung ke telinganya sendiri.
Yang lebih menyedihkan lagi jika ternyata rahasia tersebut berkaitan dengan aibnya….jadilah sahabatnya tadi menjadi orang yang paling ia benci..!!!. Bahkan terkadang karena kebenciannya terhadap (bekas) sahabatnya tersebut mengantarkan dia untuk membalas dendam sehingga diapun balik menceritakan rahasia-rahasia bekas sahabatnya dengan membeberkan aib-aibnya !!!
Kepada siapa kita simpan rahasia kita ?
Berikut ini beberapa poin yang mungkin penting untuk diperhatikan tatkala hati kita gelisah dan ingin sekali menumpahkan rahasia kita kepada orang lain.
Pertama : Hendaknya kita bertanya dalam diri kita, sudah perlukah kita membeberkan rahasia kita kepada orang lain??, apakah jika kita membeberkan rahasia kita akan mendatangkan kemaslahatan??!!
Kedua : Sebelum kita menceritakan rahasia kita kepada orang lain, hendaknya kita membayangkan bagaimana jika orang tersebut tidak amanah??, hendaknya kita juga membayangkan bagaimana jika rahasia kita tersebut akhirnya tersebar?? Apakah kita siap menghadapinya??.
Ketiga : Kalau memang kita harus membeberkan rahasia kita maka hendaknya kita menceritakannya kepada orang yang sholeh yang terkenal dengan amanah…terutama seseorang yang berilmu yang kita ingin mendapatkan masukan nasehat-nasehat darinya dalam menghadapi problem kita
Keempat : Jangan sampai kita menceritakan rahasia kita kepada orang yang mencari-cari tahu rahasia kita. Orang yang seperti ini biasanya mudah untuk membeberkan rahasia. Seorang penyair berkata :
"Janganlah engkau membeberkan rahasia kepada orang yang mencari-cari rahasia tersebut darimu, karena pencari-cari rahasia akan membeberkannya"
Kelima : Janganlah kita menceritakan rahasia kita kepada banyak orang, karena semakin banyak orang yang kita ceritakan rahasia kita maka akan semakin mudah tersebar rahasia kita.
Yang sering terjadi adalah jika seseorang menghadapi sebuah problem lantas ia selalu ingin curhat kepada orang lain, yang curhat tersebut mengharuskannya untuk membeberkan rahasianya. Akibatnya rahasianya menjadi rahasia umum.
Para pembaca yang budiman…menjaga rahasia adalah suatu amanah, karenanya jika kita diminta untuk menjaga rahasia maka hendaknya kita benar-benar memegang amanah tersebut…, namun jika kita merasa tidak mampu untuk menjaganya maka hendaknya kita tolak permintaan tersebut. Jika memang orang yang meminta tersebut tetap ngotot menceritakan rahasianya kepada kita, maka hendaknya kita mempersyaratkan agar memaafkan kita jika rahasia tersebut tersebar dikemudian hari.
www.firanda.com
Langganan:
Postingan (Atom)